Senin, 23 Februari 2009

Sastra Romantis Yang Tidak Romantis

….Setelah mengucapkan syair itu, tubuh Majnun semakin bertambah lemah, ia menatap wajah ayahnya dan tersenyum, sambil berkata, “Hatiku telah terikat oleh mantra keindahan, dan cinta tidak dapat dihancurkan. Ijinkan jiwaku berpisah dengan diriku, dan menyatu dengan jiwanya yang telah menjadi nafasku…. ….Wahai Ayahku, cinta adalah rahmat dari Surga, dan menjadi berkah bagi jiwa. Langit yang menuntunku, maka cintaku pada Layla tulus dan suci…. ….Cintaku pada Layla tidak bersumber dari bumi, ia menyala dengan kebenaran Surga, dan akan abadi selamanya…. Itulah sedikit cuplikan dari novel Layla Majnun (Syaikh Nizami, Penerbit Navila, 2004). Amat romantis, bukan? Layla Majnun adalah sebuah kisah cinta yang amat legendaris, sama seperti Romeo and Juliet dan Sampek Engtai. Ia legendaris karena di dalamnya terkandung kisah asmara antara dua anak manusia yang rela melakukan apa saja demi cinta. Bagi mereka, cinta adalah segalanya. Cinta terhadap lawan jenis dianggap sebagai sesuatu yang suci abadi, tak terpisahkan oleh apapun. Apakah cerita-cerita seperti ini hanya ada pada kisah-kisah fiksi jaman dahulu? Jawabnya: TIDAK. Coba cermati film, sinetron, novel, lagu, dan produk-produk seni-fiksi lainnya yang mendominasi dunia hiburan kita. Dengan mudah kita akan menemukan ucapan-ucapan para tokohnya yang khas, seperti: “Kaulah segalanya bagiku.” “Cintaku hanya untukmu.” “Cintaku padamu abadi selamanya.” “Apapun yang terjadi, cintaku padamu tak akan luntur.” “Aku rela melakukan apa saja demi kamu.” “Kau dan aku sehidup semati.” "Gue udah cinta mati ame dia!" dan seterusnya. Ya, itulah fenomena dari sebuah genre sastra yang bernama sastra romantis. Tragisnya, genre inilah yang mendominasi dunia sastra populer di seluruh dunia. Bahkan, seperti disebut di atas, dominasi ini bukan hanya pada dunia sastra, tapi juga pada bidang musik, film,sinetron, dan sebagainya. Sebagai contoh, lihatlah film Ada Apa dengan Cinta yang dulu meledak di pasaran, atau sinetron cinta remaja yang banyak bertaburan di layar kaca. Hampir semuanya berisi cerita yang mengagung-agungkan cinta. Sebetulnya, apa sih definisi romantis itu? Untuk menjawabnya, kita perlu telusuri dulu sejarah romantisme, yakni sebuah gerakan di dunia seni yang berawal pada abad ke-19. Gerakan ini memfokuskan diri pada hal-hal yang berhubungan dengan emosi (perasaan) dan kebebasan berimajinasi. Di Eropa, gerakan ini dipelopori oleh sejumlah seniman, seperti William Blake, Lord Byron, Samuel Taylor Coleridge, John Keats, Percy Bysshe Shelley, dan William Wordsworth. Intinya, romantisme adalah sebuah aliran seni yang menempatkan perasaan manusia sebagai unsur yang paling dominan. Dan karena cinta adalah bagian dari perasaan yang paling menarik, maka lambat laun istilah ini mengalami penyempitan makna. Sastra romantis pun diartikan sebagai genre sastra yang berisi kisah-kisah asmara yang indah dan penuh oleh kata-kata yang memabukkan perasaan, seperti pada contoh-contoh di atas. Ciri paling umum pada setiap produk sastra romantis adalah ditempatkannya cinta (pada lawan jenis) sebagai kebenaran yang mutlak. Jika si A dan si B saling mencintai, maka kisah cinta mereka dianggap sebagai sesuatu yang suci dan abadi, tak terpisahkan oleh apapun. Di akhir cerita, keduanya akan menikah, atau miniman jadi pasangan pacaran yang bahagia. Atau kalaupun keduanya menikah dengan orang lain, keluarganya tidak akan bahagia. Dari ciri di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra romantis umumnya mampu melenakan dan memabukkan perasaan. Maka tak heran, demikian banyak pembaca yang menyukainya. Namun di sisi lain, sastra romantis sebenarnya berdampak “sangat tidak romantis”, sebab ia amat berpotensi untuk melakukan pembodohan terhadap para pembacanya. Alasannya: 1.Rayuan-rayuan para tokohnya seringkali tidak masuk akal. Contohnya adalah ucapan “Aku cinta padamu selamanya.” Apakah perasaan cinta kita pada orang lain bisa abadi selamanya? Tak ada yang menjamin, kan? Dalam konteks ini, saya sangat kagum pada salah satu syair lagu Iwan Fals, “Aku cinta kau saat ini, entah esok nanti.” Sungguh syair yang sangat mencerahkan. Sebab itulah fakta yang sebenarnya dari perasaan manusia. Tak ada cinta manusia yang abadi. 2.Karena cinta dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, maka sastra romantis cenderung melawan takdir. Kita tahu, jodoh adalah rahasia Allah. Namun sastra romantis cenderung mengabaikan hal ini. Dalam cerita-ceritanya, selalu dikisahkan tentang dua anak manusia yang saling jatuh cinta, dan mereka akan melakukan apa saja (termasuk bunuh diri, melawan orangtua, pindah agama, dan sebagainya) agar hubungan mereka berlanjut ke pernikahan. Mereka lupa bahwa orang yang saling jatuh cinta itu belum tentu jodoh. 3.Yang paling parah, sastra romantis umumnya menjurus pada hal-hal yang berbau syirik. Cerita-cerita pada genre sastra ini umumnya amat mengagung-agungkan cinta atau orang yang dicintai. Demi orang tercinta, si dia rela melakukan apa saja, termasuk bunuh diri, seperti pada cerita Romeo & Juliet. Cinta atau orang yang dicintai dianggap sebagai segalanya (coba simak syair lagu Kaulah Segalanya, Ruth Sahanaya). Padahal, yang seharusnya dianggap sebagai segalanya adalah Allah. Cinta kita kepada makhluk apapun tidak boleh melebihi rasa cinta kita kepada Allah. ("Cinta itu kan berhala yang lu sembah-sembah!" ujar Pak Haji [Deddy Mizwar] pada film Kiamat Sudah Dekat. Saya sangat setuju dengan ucapan ini!) Maka dapat disimpulkan, sastra romantis sebenarnya tidaklah romantis jika dilihat pada dampak dan muatannya. Ia amat berbahaya bagi keselamatan aqidah dan iman umat Islam. Tapi tragisnya, genre sastra yang satu ini memiliki pengaruh yang amat kuat, mendominasi hampir semua produk sastra populer, juga sinetron, film, musik, dan seterusnya. Bahkan, ia sudah merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat kita. Sebagai contoh, lihatlah mereka yang rela menikah dengan orang yang beda agama. Kalau ditanya alasannya, mereka akan menjawab, “Karena kami saling mencintai.” Sebagai penulis Islam, saya kira hegemoni sastra romantis ini termasuk salah satu “musuh” yang harus kita lawan secara tegas. Lewat goresan pena, kita dapat melahirkan karya-karya yang mengandung pesan bahwa cinta (pada lawan jenis) bukanlah segalanya, orang yang saling mencintai belum tentu jodoh, dan seterusnya. Semoga kita bisa dan istiqomah dalam menjalankannya, karena Insya Allah ini adalah salah satu dakwah untuk melakukan pencerahan terhadap pola pikir masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar